Minggu, 12 Juni 2011

Pertanian Berkelanjutan adalah Masa Depan Kita

Minggu, 12 Juni 2011

Oleh; Yohanes Bea

Setiap musim tanam selalu saja petani kita “berteriak” memelas karena  pupuk langka. Sering pula hama yang ada berubah makin ganas dan menjadi kebal terhadap “obat” pertanian yang ada. Kemudian, walaupun ada sebagian petani dengan bercocok tanam secara organik, namun ternyata pupuk organik sulit  didapat dan tergantung juga pada produsen pupuk (organik). Ketiga hal ini paling tidak menunjukkan bahwa pola pertanian kita masih jauh dari standar berkelanjutan.  Ada beberapa definisi yang menjelaskan batasan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Secara garis besar Zamor (1995) mengemukakan kriteria sistem pertanian berkelanjutan, yakni:  Keberlanjutan Secara Ekonomi  Pola pertanian yang dikembangkan bisa menjamin infestasi dalam bentuk tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan petani, dan hasil yang didapat petani mencukupi kebutuhan keluarganya secara layak. Keberlanjutan ekonomi berarti juga meminimalkan atau bahkan meniadakan biaya eksternal dalam proses produksi pertanian.  Dalam poin keberlanjutan ekonomi ini, masih banyak terlihat bahwa petani (dan pertanian) kita belum sustain secara ekonomi dalam pengelolaan pertaniannya. Sebagai contoh, di lapangan penulis banyak menjumpai petani yang harus (terus-menerus) berutang menjelang musim tanam (untuk biaya produksi dan alat). Ketergantungan petani atas input dari luar (terutama pupuk dan pestisida) adalah bukti paling nyata.  Jadi kita harus memulai (saat ini juga) memperkenalkan kepada para petani kita beberapa alternatif model pertanian, semisal LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture). Dimana dengan LEISA ini kemandirian petani lebih terjamin, selain itu juga ramah lingkungan. Di beberapa tempat lain, system pertanian hutan-tani (agroforestry) justru dapat menjadi jalan keluar.  Keberlanjutan Ekologi  Keberlanjutan ekologis adalah upaya mengembangkan agroekosistem agar memiliki kemampuan untuk bertahan dalam kurun waktu yang lama melalui pengelolaan terpadu untuk memelihara dan mendorong peningkatan fungsi sumber daya alam yang ada. Pengembangan sistem juga berorientasi pada keragaman hayati (biodiversity).  Praktik-praktik budidaya tanaman yang menyebabkan dampak negatif pada lingkungan harus di hindari. Penulis menjumpai di lapangan, bahwa petani sering menyemprot pestisida pabrikan walaupun tidak ada hama. Seolah ada ketakutan yang dalam jika tidak disemprot pastilah akan kena serangan hama. Tanaman melon di Kab Sukoharjo Jateng misalnya, sejak menjelang berbunga hingga menjelang panen, dapat di semprot dengan pestisida hingga tiga kali sehari oleh petani.  Saking akrabnya petani dengan pola asal semprot-semprot ini ditunjukkan dengan kebiasaan mereka menyebut pestisida sebagai obat. Padahal pestisida adalah racun (pest=hama sida=racun) bukan obat. Bahkan banyak pula petugas penyuluh yang menyebut pestisida sebagai obat. Padahal sudah banyak ulasan tentang bahaya residu pestisida terhadap petani, lingkungan dan konsumen.  Hal lain, kebiasaan menyemprot pestisida secara over-dosis ini dapat menyebabkan tumbuhnya kekebalan pada hama yang selamat. Sehingga generasi hama berikutnya tidak lagi mempan disemprot dengan dosis yang sama, atau pestisida yang sama. Di lapangan dijumpai kebiasaan petani meng-oplos berbagai merk pestisida untuk mendapatkan hasil yang lebih ampuh (dalam banyak kasus, justeru penyuluh pertanianlah yang mengajarkan petani akan perihal berbahaya ini).  Selain berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan, syarat mutlak sistem pertanian berkelanjutan adalah keadilan sosial, dan kesesuaian dengan budaya lokal. Yakni penghargaan martabat dan hak asasi individu serta kelompok untuk mendapat perlakuan adil. Misalnya adanya perlindungan yang lebih tegas atas hak petani dalam penguasaan lahan, benih dan teknologi lokal yang sering “dibajak” oleh kaum pemodal.  Sistem yang harus dibangun juga menyediakan fasilitas untuk mengakses informasi, pasar dan sumberdaya yang terkait pertanian. Hal mana harus menjamin “harga keringat petani” untuk mendapat nilai tukar yang layak, untuk kesejahteraan keluarga tani dan keberlanjutan modal usaha tani.  Khususnya akses atas lahan harus kembali dievaluasi dalam rangka menegakkan keadilan, dengan tanpa membedakan jenis kelamin, posisi sosial, agama dan etnis. Contoh adanya ketimpangan keadilan adalah (dalam konvensi di Indonesia?) bila si istri melakukan transaksi hak atas tanah, oleh Notaris akan dimintakan surat kuasa dari suaminya.  Sementara itu, budaya pertanian lokal sering kali dilecehkan. Misalnya, sistem ladang berpindah orang Dayak sering dituduh merusak lingkungan (yang benar, orang Dayak menggilirkan lahan secara berputar/siklus, bukan berladang berpindah-pindah). Padahal sistem itu justeru melestarikan lingkungan dan sudah teruji berabad-abad. Namun kebiasaan orang Dayak  menggulirkan siklus lahan ini dijadikan kambing hitam atas dosa lingkungan dari jaringan penjarah kayu serta penjarah hutan hak ulayat suku.  Praktik Pertanian Berkelanjutan  Sebenarnya, dalam ekosistem terdapat komponen biotik, baik flora maupun fauna yang menyediakan jasa ekologi seperti: Proses dekomposisi bahan organik (daur ulang unsur hara) guna mempertahankan kesuburan tanah. Alam juga telah menyediakan pengatur dan pengendali populasi hama dan penyebab penyakit tanaman. Kemudian, alam menyediakan proses penyerbukan oleh serangga/hewan penyerbuk yang menjaga keberlanjutan reproduksi tanaman.  Kesemua hal di atas itu (anggota penyusun komponen biotik) berinteraksi sesuai proses evolusi ekosistem. Apabila satu komponen hilang akan timbul goncangan ekologi yang ditandai pelonjakan salah satu komponen (misal hama), atau proses perkembangan ekosistem berjalan tidak normal (Misal: karena input pestisida dan pupuk kimia yang ngawur, tanah menjadi tidak gembur karena kehilangan mikroba pengurai).  Indikator sukses  Selama ini indikator sukses pertanian kita adalah sekadar jumlah atau hasil produksi pertanian, untuk memenuhi permintaan pasar. Dalam pertanian berkelanjutan, tujuan yang ingin dicapai bukanlah sekadar target produksi jangka pendek, tetapi lebih ditekankan pada upaya keberlanjutan sistem produksi jangka panjang.  Sehingga inovasi yang dilakukan, dalam pertanian berkelanjutan adalah dalam rangka peningkatan secara optimal proses-proses biologi dan ekologi dalam ekosistem.  Untuk inilah, kini saatnya (terutama) para penyuluh pertanian untuk mengajari petani kita (yang sudah lupa) cara-cara mengembangkan kesuburan tanah, prinsip pengendalian hama alami dan pengoptimalisasi peran musuh alami, pengelolaan tanaman (memilih jenis, pola tanam, mengatur waktu tanam yang tepat) guna memanipulasi interaksi musim-tanaman-hama.  Hal lain, harus dipikirkan pula pengembangan jenis-jenis kultiva tanaman yang tidak rakus pupuk dan relative tahan terhadap hama dan penyakit. Pengembangan varietas unggul lokal (yang sudah beradaptasi sesuai dengan kondisi setempat) perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan bibit unggul spesifik lokasi.  Kiranya, masih ada harapan di Indonesia, untuk mempertahankan keberadaan ekosistem pertanian, memelihara potensinya untuk jangka waktu lama, tidak berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan, akan dapat memberi keuntungan terus-menerus (jangka panjang dan turun temurun) pula.

Daftar Pustaka:  Blake, F. 1994. Oerganic farming growing. The Crowood Press Ltd. Wiltshire. U.K.  Fukuoka, M. 1991. Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menuju Pertanian Alami (Terjemahan S. Hardjosoediro), yayasan Obor Indonesia, Jakarta  Zamor,O.B. 1995. Contextualizing the Indicators of Sustainable Agriculture. Working Paper on The Sustainable Agriculture Indicator Workshop on May 30, 1995. SEAMO Regional Centre for Graduade Study and Research in Agriculture.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar